Sluku-sluku Bathok Bukan Sekedar Tembang

Bukan Sekedar Tembang Guyonan

Sluku-sluku bathok

Bathoké éla-élo

Si rama menyang Solo

Léh-oléhe payung motha

Mak jenthit lololobah

Wong mati ora obah

Nèk obah mêdèni bocah

Nèk urip goleko dhuwit

Tembang Jawa di atas tidak lagi asing di telinga manusia. Tembang ini sering kali disenandungkan oleh anak-anak dengan kaki diselonjorkan dan dielus-elus dengan tangan selama menyanyi. Liriknya simpel dan tidak terlalu panjang, mudah dihafalkan dan sedikit bernada humor. Kebanyakan dari orang tua yang ditanyakan tafsir tembang ini oleh anaknya akan menjawabnya secara harfiah yang kurang lebih begini:

Sluku-sluku tempurung kelapa,

Tempurung kelapanya bergeleng-geleng.

Ayah pergi ke kota Solo,

Membawa oleh-oleh payung kematian.

Menungging lololobah,

Orang mati tidak bergerak.

Bila bergerak akan menakutkan bagi anak-anak,

Bila hidup carilah uang.

Jika dibaca sekilas, artinya sedikit membingungkan. Secara turun-temurun, orang lebih mengenal tembang ini sebagai tembang guyon karena syairnya yang menggelikan. Jika melihat dari sisi tekstual saja, tembang ini akan dipahami dengan sangat sederhana. Misalnya, tafsiran pada tiga kalimat terakhir. Siapapun akan geli ketika mendengar pernyataan wong mati ora obah yang maksudnya orang yang sudah meninggal tidak akan bisa bergerak. Apalagi ditambah dua syair terakhir yang menguatkan sisi humor kalimat sebelumnya.

Namun jika dilihat secara keseluruhan, ada beberapa kosa kata yang tidak diketahui maknanya. Seperti kata sluku-sluku, éla-élo dan lololobah yang bahkan tidak ada dalam kamus Bahasa Jawa. Kebanyakan orang akan angkat bahu jika ditanyakan arti dari kata-kata tersebut. Seolah-olah hanya menjadi hiasan dalam sebuah lagu, kosa kata itu dibiarkan begitu saja, tidak diartikan dan dilafalkan sesuai aslinya.

Bukan Sekedar Tembang Dolanan

Secara kontekstual, tembang ini mempunyai makna filosofis yang dalam. Menurut Endraswara (1999), tembang dolanan Sluku-sluku Bathok di atas dapat ditelusuri dari segi sufisme Jawa/filsafat Jawa yang sudah terpengaruh oleh ajaran Islam. Sehingga tidak hanya menggunakan bahasa Jawa yang kental, Sluku-sluku Bathok juga mempunyai makna religius yang sarat dengan nilai-nilai akidah. Bahkan sebagian besar kalimatnya ditafsirkan berasal dari bahasa Arab yang kemudian dipelesetkan ke dalam bahasa Jawa.

Sluku-sluku bathok. Kalimat pertama ini ditafsirkan sebagai ghuslu-ghuslu bathnaka yang artinya mandikanlah/bersihkanlah batinmu. Seperti diterangkan oleh Ibnu Athoillah dalam Al Hikam, pembersihan batin jauh lebih penting sebelum beranjak ke pembersihan raga. Kalimat tersebut berisi pesan untuk membersihkan batin dari nafsu duniawi. Karena untuk dekat kepada Allah, batin harus suci. 

Bathoké éla-élo, bathnaka Laa Ilaah Illallah. Kesucian batin yang disiratkan dalam baris pertama bisa diraih, salah satunya dengan cara selalu berzikir kepada Allah. Éla-élo yang dalam bahasa Indonesia berarti geleng-geleng diibaratkan seseorang yang sedang berzikir menyebut kalimat syahadat tauhid sembari mengeleng-gelengkan kepala.

Si rama menyang Solo, siruma yasluka. Diambil dari kata salaka yang artinya ‘berjalanlah’ di atas jalan yang dilalui Rasulullah SAW. Karena Rasulullah SAW adalah sumbu utama dan contoh terbaik dalam pembersihan batin untuk menuju kepada Allah, maka berjalanlah mengikuti apa yang Rasulullah SAW ajarkan.

Léh-oléhe payung motha, la ilaha ilallah hayyum wal mauta. Syahadat tauhid sebagai dasar keimanan sudah semestinya dilafalkan dari lahir sampai ajal menjemput. Seperti kepentingan duniawi yang tampak mata, kepentingan akhirat yang kasat mata juga harus diburu. Keimanan yang istiqomah akan membawa akhir hidup yang husnul khatimah.

Mak jenthit lololobah, mandzalik muqarobah. Menurut Endraswara (1999) kata muqorobah dapat diartikan ‘introspeksi, mawas diri’, atau ‘meneliti segala kesalahan yang pernah diperbuat’. Manusia sebagai mahallul khata’ wa al-nisyan memang sewajarnya melakukan kesalahan. Oleh karenanya, ia harus selalu dapat mengoreksi diri sendiri, mengakui kesalahan yang diperbuat dan mau memperbaiki diri dari waktu ke waktu.

Wong mati ora obah, hayyun wal mauta innalillah. Artinya, hidup dan mati adalah milik Allah. Seperti dilafalkan dalam do’a sebelum tidur, manusia diajarkan untuk setiap saat mengingat Allah, dengan nama-Nya aku hidup, dan dengan nama-Nya pula aku mati. Sedangkan dalam falsafah Jawa, dikenal istilah sangkan paraning dumadi, yang artinya menusia sudah semestinya mengetahui asal dan tujuan hidup.

Nèk obah mêdèni bocah, mahabbatan mahrajuhu taubah. Setelah introspeksi diri, manusia diajarkan untuk bertaubat, karena memang tidak ada manusia yang lepas dari kesalahan. Bertaubat akan membersihkan batin dan batin yang bersih akan mendekatkan diri kepada sang Pencipta. Dekat dengan Allah menjadikan hati manusia pasrah sehingga tercapailah mahabbah.

Nèk urip goleko dhuwit, yasrifu innal khalaqna insana min dhafiq. Pada baris terakhir, manusia diajarkan untuk merendah dan mengingat darimana sejatinya ia berasal. Manusia diciptakan dari ketiadaan dan kehinaan lewat air yang memancar, karenanya ia sama sekali tidak berhak berlaku sombong. Sehingga untuk mendapat kemuliaan, ia harus selalu bersandar pada Allah. Sluku-sluku Bathok adalah tembang Jawa yang sederhana, di mana di balik kesederhanaannya tersimpan nilai-nilai tasawuf yang sangat dalam. Mulai dari mengingat Allah sampai kepasrahan, semuanya tersirat di tiap-tiap baris yang tersusun apik. Pesan Sunan Giri dalam tembang tersebut setidaknya bisa menjadi parameter manusia dalam berjalan menuju Allah. Sehingga, selain dapat memayu hayuning bawana –menjaga ketenteraman dunia- sebagai khalifah di dunia, ia juga semakin dekat dengan Allah dengan pandai dalam memilih dan memilah langkah yang tepat.

Yuk nilai postingan ini
[Total: 1 Average: 5]

Tinggalkan komentar