Hari kedua, Aku dibuat bergidik sekaligus penasaran dengan orang-orang yang berkerumun di depan balai desa. Sebagian dari mereka datang, beberapa detik kemudian pergi digantikan yang lainnya, mencibir sambil berbalik. Satu lagi, mereka membawa bungkusan, entah apa, dan mengumpulkannya ke dalam keranjang. Aku yakin itu milik perempuan gembrot di depan balai desa yang sedang berbicara berbusa-busa sambil sesekali mengangkat tangan. Matanya jeli memandang satu-satu hadirin yang acuh tak acuh. Bajunya yang kumal bergoyang-goyang mengikuti gerakan yang berlebihan. Kadang kala ia tampak mengumpat beberapa orang yang pergi begitu saja tanpa meninggalkan bungkusan di keranjangnya. Sambil menunjuk-nunjuk kadang ke langit, ke samping, ke pepohonan, perempuan itu terus bicara. Sama sekali tak memperdulikan orang-orang yang dengan sengaja menampakkan kemalasan untuk menemuinya. Dari jendela dapur rumah Mak De, si perempuan gembrot itu tepat lurus di depan mataku.
“Sudah belum, Nduk?” Suara Mak De mengejutkanku. Kulirik ia sekilas sambil mengangguk lalu kembali memperhatikan depan balai desa. Perempuan gembrot itu berteriak-teriak sambil mengambil batu-batu yang tak jauh dari kakinya dan melemparkannya pada seseorang. Seorang laki-laki agak tua lari terbirt-birit dengan sepasang sandal di tangannya. Lucu juga.
“Namanya Tarsih,” ucap Mak De, tepat sekali dengan pertanyaan yang nongkrong di benakku sejak tadi. Aku berbalik, membiarkan Mak De memotong-motong kertas minyak dan koran sendiri.
“Orang sini?”
“Iya, rumahnya di ujung jalan setelah jembatan..”
“Terus dia lagi ngapain?” aku duduk di kursi sambil bersedeku. Persis seperti sepuluh tahun yang lalu ketika menunggu ibu menyiapkan sarapan sebelum sekolah. Kali ini Mak De menyiapkan dagangannya.
“Lagi woro-woro, ngasih tahu warga akan hal-hal yang tidak baik, setiap warga yang datang, pasti akan diramalkan tentang tanaman mereka di ladang dan sawah, juga dagangan mereka, kadang juga dedemit yang menganggu keluarga.. semuanya dia tahu. Begitulah…” Mak De tampak enggan meneruskan cerita meski dahiku berkerut lama meminta jawaban lebih panjang. “Tapi ya itu, orang-orang harus membayar upeti untuk mendengarkan ocehannya”
“Tapi mereka percaya?”
“Ya, buktinya mereka datang.”
“Tapi ada yang mengumpat begitu di belakang?”
“Itu karena ramalan mereka buruk.” Mak De selesai memotong koran dan kertas minyak, tangannya cekatan mengambil baskom berisi nasi putih yang masih mengepul. Sayur kering, daun singkong, dan mie yang dimasak sejak Subuh sudah tersaji di atas meja. Seperti Mak De, tanganku ikut mengambil secarik koran ditumpuk secarik kertas minyak lalu diisi satu setengah centong nasi putih dan tiga macam lauk. Porsi yang terlalu banyak buatku.
“Lalu kenapa mereka masih mendatanginya?” dahiku berkerut-kerut heran.
“Wes kadung, Nduk…” Mak De mengambil bakul yang masih kosong. Mak De memasukkan tiga bungkusan dan aku satu. Lebih kecil. “Kalau ndak didengerin nanti kita semua yang kena, disumpahin banyak hal jelek…” imbuh Mak De. Jadi semacam karma begitu? dahiku kembali mengerut-ngerut mencerna jenis apa kiranya perempuan itu. Aku baru membuka mulut hendak bertanya lagi, tapi Mak De kadung melesat membawa bakul pertama ke ruang tengah.
“Kamu, jangan sekali-sekali bicara dengannya, dapat nasib buruk nanti…” suara Mak De terdengar lagi. Nada bicara Mak De selalu sama dari dulu. Dan sedikit bicara menurutku. Entah kalau ada ibu. Sayang sekali, ibu harus balik ke Jakarta karena pekerjaannya. Tentu setelah menjenguk nenek di desa sebelah bersamaku kemarin. Hanya kami berdua karena Mak De harus berjualan nasi seperti biasa.
“Na… Selesaikan bungkusan nasinya, keburu siang…” Yah, aku menelan ludah sambil merelakan Mak De yang melenggang santai ke luar rumah. Nasib buruk? Mungkin Mak De pernah mengalaminya sendiri? Aku melanjutkan tanyaku yang tertahan lalu membungkus nasi lauk. Seperti bungkusanku sebelumnya, kukurangi sedikit karena menurut perkiraanku, itu terlalu banyak sehingga orang-orang takkan habis jika memakannya. Selain eman-eman, bukankan itu juga mubadzir? Hmm.. aku membenarkan sendiri dialog yang berkecamuk di dalam diriku.
Di luar sana, di depan balai desa, Mak De menaruh bungkusan nasi rames yang ia ambil satu dari bakul. Tanpa memberhentikan langkah, ia langsung memutar arah kembali ke rumah.
***
Mak De sebenarnya bukanlah kakak dari ibu atau ayahku. Lebih tepatnya tetangga dekat. Dulu, keluargaku dan Mak De bertetangga. Mak De hidup sendirian setelah ayahnya meninggal saat ia menginjak remaja dan ibunya menyusul setahun kemudian. Ia anak semata wayang yang tidak ditinggali warisan kecuali keahlian memasak. Maka sejak hidup sebatang kara, ia memulai pekerjaannya menjadi penjual nasi rames. Satu-satunya tetangga dekat adalah ibuku yang tinggal bersama nenek. Ibu dan Mak De adalah teman dekat sejak kecil. Kata nenek, di mana ada ibu di situ ada Mak De. Bahkan sampai ibu menikah dengan ayah, pertemanan itu masih rekat. Setelah menikah, ibu tetap tinggal bersama nenek sehingga tetap bersebelahan dengan Mak De.
Aku lahir setahun kemudian. Praktis aku tak hanya mendapatkan kasih sayang ayah dan nenek, tapi juga ibu dan Mak De. Seringkali Mak De tinggal di rumahku, apalagi kalau ibu harus melembur jahitan sampai larut malam. Sedangkan ayah lebih sering menghabiskan waktu di sawah yang tak seberapa luas. Seringkali seharian di sawah dan hanya pulang untuk makan siang. Lalu menjadi seharian sampai sore. Tapi itu sama sekali tak membuat ibu kewalahan mengurusku di tengah kesibukannya menjahit. Layaknya seorang ibu, Mak De tahu segala sesuatu yang harus dilakukan seolah pernah mengurus anak sebelumnya. Nenek yang cerewet sekali mengomentari apapun, sudah cukup membuat rumah menjadi ramai.
Setelah liburan kenaikan kelas empat SD, aku semakin jarang melihat ayah. Kata ibu, ayah mencari penghasilan lain dengan kerja paruh waktu. Aku mengiyakan saja. Beberapa hari sebelum kutanyakan itu pada ibu, aku lihat Mak De mengemasi barang-barang yang ada di kamarnya. Esoknya setelah mandi, aku hanya menemukan ibu di dapur dan nenek yang sedang mengomel entah apa, aku tak begitu paham. Ibu diam saja, hanya tangannya yang cekatan menggoreng tempe.
“Mak De kemana, Bu?”
“Sudah pindah ke desa sebelah,” jawab ibu tanpa menoleh ke arahku. Kupikir aku tak seharusnya terkejut di depan ibu yang secuek itu.
“Kenapa?”
Ibu mengangkat bahu, menyajikan tempe goreng yang masih mengepul. Hmm.. baunya sedap sekali.
“Nanti kita jenguk Mak De, sekarang kamu sarapan terus berangkat sekolah, udah jam setengah tujuh..” ibu mengelus kepalaku dan berlalu ke kamar. Aku beranjak ke kamar mandi dengan tanya yang tak terjawab.
Kenyataannya, seminggu kemudian pun ibu belum mengajakku menjenguk Mak De. Aku lihat ibu sibuk mengurusi mesin jahit yang sudah mulai sulit diajak kompromi. Jahitannya memang tak seberapa banyak, tapi itu sungguh menyita waktunya sampai larut malam, sehingga aku selalu merasa tak tega kalau harus menagih janji. Suatu hari, sepulang sekolah aku tak mendapati siapapun di dalam rumah. Ibu ke mana? Dengan seragam masih menempel di badan, aku menemui nenek yang sedang menyapu halaman belakang rumah.
“Ibu kemana, Nek?”
“Ke pasar, Nduk, belanja…” Aku mengangguk dan berbalik, tapi tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan yang membuatku terhenti di pintu dan menoleh lagi.
“Ayah kemana, Nek?”
Nenek berhenti menyapu, menatapku agak lama. Aku menunggu jawaban dengan bosan.
“Owalah, Nduk… bapakmu wes rak keno maneh diarepke balike…”
Heh? Aku tercenung di pintu. Nenek yang menjadi salah tingkah kemudian melenjutkan menyapu. Aku menangis sampai sore sambil berharap itu bukan berarti ayah dan ibu berpisah. Untuk pertama kali aku benar-benar merasa kehilangan sosok ayah. Sejak itu nenek jadi pendiam dan ibu semakin pendiam. Sebulan kemudian ibu memutuskan merantau ke Jakarta. Nenek memintaku tetap tinggal di desa tapi ibu melarang. Akhirnya kami pergi tanpa pernah menjenguk Mak De.
Ibu sudah punya konveksi walaupun kecil-kecilan, itu pula yang membuatku bisa sekolah sampai sekarang, SMP. Malamnya setelah menerima rapor, ketika aku memasuki kelas dua SMP, ibu tiba-tiba menjawab penasaranku yang sudah lima tahun mengendap di kepala.
“Liburan ini kita ke rumah Mak De ya…”
Tentu saja ibu tak perlu jawabanku. Aku sudah membayangkan betapa rindu yang bertumpuk-tumpuk sekian tahun ini akhirnya tersampaikan juga. Atau mungkin Mak De sudah menikah dan punya anak perempuan.
***
“Nasi… nasi…” Mak De bersemangat menjajakan dagangannya. Sepagi ini, kata Mak De, biasanya nasi rames dan nasi goreng akan terjual banyak. Ibu-ibu malas yang anaknya sekolah misalnya, daripada ribut ke warung dan masak, belum lagi jika anak-anak mereka yang jumlahnya banyak itu saling berkelahi berebut kamar mandi. Maka pekerjaan Mak De setidaknya meringankan beban para ibu nan banyak anak.
Dengan bakul nasi goreng yang masih tersisa sepertiga, aku berjinjit-jinjit memilih jalanan yang tidak digenangi air. Hujan semalam sukses membuat jalan ini mirip sawah tak ditanami.
“Gara-gara Tarsih ini…” ucap Mak De spontan ketika sandal jepitnya terjebak lumpur. Ia limbung dan hampir jatuh kalau tidak kupegangi.
“Kok gitu Mak De?”
“Iya, dia kan sering mengumbar sumpah serapah kalau bungkusannya ada yang tidak sesuai dengan seleranya…”
“Dan… terjadi?”
Mak De mengangguk tanpa menatapku. Tentu saja aku sulit percaya. Bagaimana mungkin seseorang mengendalikan takdir sekehendak hati begitu? Semalaman Tarsih memenuhi benakku.
“Kenapa dia bisa begitu?”
“Wangsit dari mbah buyutnya…”
“Mbah buyutnya peramal?”
“Ada yang bilang peramal, dukun, orang gila…”
“Orang gila?”
“Iya, dia memang seperti orang gila… menurut ibumu,”
“Kenapa?”
Mak De tak menjawab. Dua orang ibu tampak tergopoh dari arah berlawanan. Sambil membawa belanjaan yang tak seberapa, mereka menyingkapkan roknya setinggi lutut dan berjalan cepat tanpa memperhatikan genangan air yang mengotori kaki mereka.
“Nasi, Bu…” Mak De memanfaatkan kesempatan saat keduanya hanya berjarak satu meter dari kami. Dua ibu itu ribut sendiri dengan ceritanya.
“Tarsih ngamuk, Mbak… sana nasinya buat dia saja” ucap salah satu dari mereka dan keduanya berlalu begitu saja. Mak De mengernyitkan dahi, sepertinya enggan untuk melanjutkan perjalanan, tapi dagangan kami baru laku separo. Kalau tidak habis, maka Mak De tidak punya modal untuk berdagang besok. Aku tahu Mak De ragu, tapi ia tetap melangkah meski sedikit gontai. Semakin jauh melangkah, kakiku terasa semakin berat. Tapi rasa penasaranku memenangkan adu batin yang terjadi sejak tadi.
Kami melewati jembatan yang sudah lapuk catnya. Beberapa pembatasnya ambrol ke sungai, terbawa arus di musim hujan. Aku merasakan jembatan ini bergetar tiap kali menapakkan kaki. Atau mungkin hanya perasaanku saja. Beberapa orang berjalan cepat melintasi kami membuat getaran di telapak kaki semakin terasa. Semakin mendekati ujung jembatan, orang-orang semakin banyak yang berbalik. Mataku awas mencari sosok perempuan gembrot. Aku baru saja hendak meminta Mak De untuk berbalik ketika tiba-tiba Tarsih dengan mata melotot muncul di depan kami. Tepat satu langkah kami melewati jembatan. Mak De terlonjak, sedangkan aku berdiri kaku. Bingung. Takut.
“Heh, kamu! Kalau ngasih bungkusan mbok ya yang pantes, masa iya saya dikasih makanan kucing! Wong enom saiki pancen ora ono seng ngajeni wong tuo! Sini kamu sini, saya bilangin!” Tarsih mendekat sambil menunjuk-nunjuk ke arah kami. Aku merapat ke Mak De sembari memegang lengannya erat. Bakulku entah ke mana, jatuh mungkin. Lamat-lamat aku mengingat bungkusanku yang lebih kecil dari bungkusan Mak De. Ah! Mati aku! Itu penyebabnya. “Kamu jangan main-main dengan saya ya. Dulu kamu bungkuskan saya nasi basi dan sekarang kamu bungkuskan makanan kucing. Enggak mau disumpahi lagi kayak dulu kan? Kamu tahu betapa ampuh sumpah saya, saya bilang A pasti akan terjadi A, saya bilang kamu enggak bakal nikah, nyatanya ya kamu enggak nikah, saya bilang kamu bakal jadi penghancur keluarga temanmu sendiri, terjadi juga kan?! Bla… bla… bla…” Aku melongo. Kata-kata perempuan kumal itu selanjutnya tak terdengar jelas di telingaku. Aku tak tahu pasti reaksi Mak De, tapi aku tahu dia enggan untuk menoleh kepadaku. Diam-diam aku melepaskan peganganku dari lengan Mak De yang tadi erat sekali.
***
Ini masih Desember akhir dan hujan di mana-mana. Di hatiku juga. Batuk pilek menyerangku sejak kembali ke Jakarta. Sebelas hari sudah, padahal besok sudah harus kembali memakai seragam putih biru tua, tahun terakhir. Aku tahu potongan-potongan puzzle yang sejak dulu berserakan di benakku sedikit terbentuk. Selebihnya, aku tidak peduli. Hhh.. aku menghela nafas berat. Ingus yang menyumbat hidung membuatku sulit bernafas, apalagi bicara. Tapi bukan itu yang membuatku diam saat ditanya ibu kenapa aku hanya menghabiskan tiga hari di rumah Mak De.
***
ditulis di Semarang, 27 Desember 2013
Ilustrasi by Dương Trí on Unsplash