Menakut-nakuti Anak

Sebuah pengalaman menjadi objek wedhen-wedhen tetangga sekitar karena saya pendiam, berkumis, dan berkaca mata. Kalian pernah denger kata-kata ini?

Awas, ne dolan ojo adoh-adoh, ngko di gowo genderuwo lhoo..”
Ra sah melu, emak arep nang puskesmas, ne melu ngko disuntik dokter, gelem??”
Ne rewel wae, tak undangno Pak Pulisi lho, ben di gowo
Kae, ono Bapak kumis, hiyaaahndang cepet rene

Sepertinya kata-kata tersebut sering kita dengar di lingkungan tempat tinggal kita ya. Pernah jadi korban seperti saya? Atau, kamu sebagai pelakunya? Manajemen menakut-nakuti dan ngancem anak model begini memang paling cepet bikin anak nurut. Cara ini buat sebagian orang tua dianggap efektif, praktis, murah, gurih dan renyah buat mengendalikan anak. Banyak yang melakukan turun-temurun tanpa memikirkan dampak yang nantinya akan ditimbulkan.

Profesi-profesi mulia seperti dokter, tentara, polisi, bahkan satpol PP ikut diundang secara imajiner dan dipaksa menerima job-desc baru untuk membantu para orang tua. Diberi status penting dengan tugas utama nyeremin bocah rewel, nggak mau makan, ngotot ikut pergi, nggak nurut, nggak mau deket dengan diri kita dan lain sebagainya. Kalau sosok-sosok mulia tersebut dirasa kurang mempan, para orang tua tersebut masih punya stok lain: monster, hantu, genderuwo, wewe gombel, banaspati, kunti, mak lampir, suster ngesot, glundung pringis, dll.

Saya lalu berpikir, berat sekali tugas sodara-sodara setan itu yak. Disudutkan dan difitnah mulu. Lebih parah lagi, manusia ‘polos’ yang berpenampilan rambut gondrong, berkumis, pun ikut dijadikan tumbal sebagai alat untuk menakut-nakuti.

Memang teknik menakuti pada anak usia play group dan TK bisa dinilai efektif dan efisien. Cocok sama opini eyang Jean Piaget tentang fase pra operasional yang salah satunya dicirikan dengan munculnya pemikiran simbolik. Para ‘krucil’ mulai mampu hadirkan imajinasi dengan bantuan verbal maupun gambar.

Jadi kalo orang tua menyebut, “Sstt…mama panggilin pakde kumis lho“, si anak langsung mampu membayangkan sosok pakde yang dimaksud, satu paket komplit dengan bayangan kumis melintang, rambut gondrong, suara menggelegar, yang kalo ngomong biasa aja udah berasa nakutin.

Sama seperti saat orang tua menyebut kata “dokter”, si anak auto membayangkan sosok berpakaian putih yang berasosiasi dengan jarum suntik dan rasa sakit, seperti yang selalu digaungkan emak bapaknya.

Orang tua sukses mengendalikan dan mendisiplin anak dengan menggunakan strategi manajemen ancaman dan rasa takut. Murah, cepat, modal satu dua kalimat, BERES.

Tapi apakah itu aman tanpa efek samping?

Jangan pernah lupa anak-anak berkembang dengan cepat sementara kita ini lebih banyak jalan di tempat.

Anak bertumbuh dan penalarannya berkembang pesat. Ia makin paham hal-hal apa yang logis dan apa-apa yang tidak. Pada akhirnya kemampuan anak yang berkembang normal akan membawa risiko kegagalan strategi ini.

Anak tau kalo emaknya tidak sungguh-sungguh pergi ke dokter. Atau kalo misalnya dari bu guru yang mengajarinya di sekolah ia mendapat penguat argumentasi bahwa ‘mak lampir’ itu cuma ada di film-film saja.

Anak yang cerdas juga mulai mencium bau-bau tidak konsisten orang tua. Kita bilang di situ gelap ada hantu, tapi di waktu yang lain kita minta tolong ‘campur maksa’ anak buat ngambilin sesuatu di sudut rumah yang gelap sembari menentang rasa takutnya.

Anak akan mengingat kembali pengalaman saat emak bapaknya menakut-nakuti ini itu. Dan penalaran si anak yang makin berkembang akan mendorong pikiran cerdasnya yang sedang bertumbuh untuk curiga & menyadari bahwa orang tuanya selama ini serius saat meyakinkannya, tapi bo’oong.

Kegagalan strategi juga bisa muncul karena orang tua sendiri tak sekedar menakuti tapi masih mengimbuhi dengan pemaksaan dan  tak mendengarkan suara anak. Si krucil yang tak berdaya bisa saja frustrasi. Bukannya takut lalu menurut, ia justru makin nekad dan bisa saja malah terjadi drama panjang.

Risiko lain adalah upaya menakut-nakuti itu begitu dahsyat pengaruhnya. Alih-alih menurut dan patuh, si kecil justru merasa sering di bayang-bayangi ketakutan, merasa terancam, nightmares dan bahkan histeris jika kelak harus berurusan dengan sosok yang dimanfaatkan orang tuanya untuk membuatnya patuh.

Perasaan takut dan tidak aman yang terlalu banyak disuburkan dalam pikiran anak terus-menerus juga bisa membuatnya distrust pada lingkungan sekitar. Anak berisiko bertumbuh menjadi pribadi yang tak percaya diri, jauh dari rasa aman dan kehilangan sebagian dari kebahagiaan normal anak-anak.

Siapa yang bisa menjamin bahwa anak kita takkan pernah berurusan dengan tenaga medis? Sungguh absurd jika orang tua yang selama ini menggunakan sosok dokter untuk mendisiplin, di saat lain ternyata harus membawa anaknya yang sakit ke dokter dan dalam hitungan detik orang tua mengubah image dokter sebagai hero.

Kita sungguh tak adil pula pada profesi-profesi atau siapa pun mereka yang kita gambarkan negatif di mata anak. Tanpa sadar kita mengajari anak melabel buruk sosok-sosok tersebut, menggiring pikiran untuk menghindari, takut dan bahkan bisa menumbuhkan kebencian. Koq jahat banget sih.

Lagi pula apa orang tua nggak jadi kerepotan sendiri kalo ntar si anak takut pergi ke kamar mandi untuk pipis sendiri di malam hari, atau saat listrik di rumah mati saat kita belum tiba di rumah, atau bahkan sampai besar dia masih tetep ngotot minta tidur ditemenin selalu? Nahlooo….

Jadi… Mak, Babeee, ayolah jangan biasakan nakutin anak untuk mendapatkan kepatuhannya. Ruginya lebih banyak dibanding untungnya. Lama kelamaan pikiran kecil cerdasnya akan mereduksi tingkat kepercayaannya pada kita. Kebahagiaan masa kecilnya pun banyak tercabut kalo kita dikit-dikit nakut-nakutin.

Daripada bilang “Yuk mainnya udahan, kalau gelap ada setan lho“, tentu lebih baik mengatakan “Sudah maghrib nak, yuk udahan sepedaannya, kalau gelap nanti jadi susah lihat jalan“.

Daripada bilang “Kalau adek tetep nggak mau minum obat nanti mama minta pak dokter nyuntik lagi lho“, tentu lebih baik mengatakan “Memang obat ini agak pahit dek, tapi kalo adek nurut mau minum bakalan cepet sembuh, bisa cepet main lagi sama teman-temen“.

Cara terbaik adalah mengajak anak bicara, menjelaskan secara logis sesuai kemampuannya untuk menyerap. Memang tak bisa instan. Butuh waktu dan pembiasaan.

Ingat ini bukan tentang penyelesaian masalah sepotong-potong. Ini tentang bagaimana membangun karakter anak.

Menakuti anak sama artinya main-main dengan pengembangan kepribadian anak jangka panjang.

Prinsipnya, kita memberi ruang untuk perasaannya, menerima rasa khawatirnya, membiasakan dialog logis dan bersikap konsisten. Anak akan patuh karena merasa perlu patuh, bukan karena rasa takut.

Bonusnya lagi: kalo kita melakukan parenting dalam atmosfer ‘respek’ pada anak, maka anak pun akan ‘respek’ pada kita.

Yuk gaes, emak-babe, aunty-uncle, grandma-granpa, mari menyumbangkan yang terbaik untuk anak-anak: berpikir lebih panjang.

Original Post: Lita Widyo 
Yuk nilai postingan ini
[Total: 4 Average: 5]