Bintang Siam

Ketika aku menatap bintang di sini, kamu juga di sini, berselonjor di depanku. Tak jauh darimu, sebuah Forsa tua terparkir. Tangan kiri menopang badan dan tangan kananmu menunjuk satu satu bintang di langit seolah-olah sedang menghitung. Itu yang kusangkakan pertama kali. Tapi kuperhatikan jari telunjukmu tak kunjung berpindah arah, itu-itu saja yang kau tunjuk. Mulutmu tampak komat-kamit layaknya berbicara dengan para bintang. Kau seperti peramal yang kehilangan pelanggan. Batinku sambil tertawa lepas. Kau berhenti komat-kamit, melipat tangan di atas lutut dan bersandar padaku. Sandaran pertama. Kau diam, aku juga. Gelap memang, tapi aku bisa melihat buliran bening lamat-lamat turun dari kelopak matamu. Kau mulai berbisik.

***

Namanya Bintang. Ia mempunyai banyak anak. Bukan anak kandung maksudku, tapi anak-anak yang ia dapat dari orang tua-orang tua yang tak mau mengakui, maka ia adalah ibu dari anak-anak itu. Dia mengasuh dengan penuh kasih sayang walau tak satupun dari mereka anak kandung. Tanpa pembantu. Hanya Najma, ‘anak’ pertama yang usianya hanya selisih sepuluh tahun dan lebih sering memanggilnya mbak daripada ibu.

Siang itu seperti biasa, kau sengaja bolos dari tanggung jawab terhadap anak-anakmu. Kalian memang sama-sama mempunyai anak banyak yang tak satupun kandung. Kau keluar kelas dan mengendarai Forsa tua. Alasannya sih mau mencari bahan praktek Biologi, padahal itu hanya alasan untuk menghindari rutinitas yang mulai membuatmu bosan. Kau memarkir kendaraan roda empatmu di bawahku, pohon pete yang tumbuh besar di halaman rumah berbentuk joglo itu. Di terasnya yang luas tampak beberapa anak bermain dengan riang. Seorang perempuan berumur sekitar dua puluh tahun-an berdiri di pintu, menatap kedatanganmu.

“Mbak ada, Najma?” tanyamu akrab.

“Ada, Om, di dalam sama si Gundul…” jawab Najma enteng sambil menyebutkan salah satu adiknya yang selalu licin kepalanya. Kau memasuki ruang tengah yang luas. Tampak Bintang sedang momong Gundul, anak laki-laki berumur sekitar tujuh tahun. Kau memang sedikit saja ngobrol dengan Bintang namun selalu manis didengar. Kadang-kadang sampai membuat Bintang tak bisa membalas candamu dan hanya tersenyum manis, pipinya merona merah lalu lupa bahwa ia sedang memegang seorang anak kecil. Ah, seringkali salah tingkah itu mengganggu, namun menyenangkan bagimu, baginya juga mungkin. Kadangkala kau kehabisan bahan obrolan sehingga harus megulang lagi cerita awal bertemunya kalian.

“Aku inget waktu itu kamu baru pulang dari pasar saat belanjaanmu yang seabrek itu tumpah berantakan di jalanan…”

“Kenapa kau menolongku?” tanyanya selalu begitu.

“Karena kalau aku tak menolongmu, aku tak ada di sini sekarang” jawabmu sambil tersenyum jail. Ia terpesona dengan kata-katamu. Kau semakin mahir merayu dan dia menanggapi. Komitmen itu tercipta dengan sendirinya, tanpa ada perjanjian ataupun peresmian. Besoknya kau datang lagi dengan sambutan Najma di pintu dan Bintang dengan anaknya yang lain, selalu berbeda. Sampai kau paham satu-satu nama mereka yang memang hanya berjumlah empat. Lima dengan Najma. Dan entah siapa yang memulai, mereka memanggilmu ayah, kecuali Najma, ia lebih suka memanggilmu om.

Lama-lama kau merasa perlu menambah intensitas pertemuan. Maka beberapa bulan kemudian kau mulai menengoknya pada malam hari. Untuk pertama kalinya kau tahu bahwa kalau malam, bintangmu pergi dari rumah joglonya. Kau tercenung sejenak sambil menatap bintang di langit. Banyak. Indah. Kau tersenyum. Bintang tak benar-benar pergi darinya.

“Boleh om duduk di sini, Najma?” tanyamu pada Najma yang sedang menyulam di beranda rumah. Ia mengangguk. “Di mana adik-adikmu?” tanyamu sambil memposisikan diri agar nyaman.

“Sudah tidur Om” jawabnya singkat.

“Kamu enggak tidur?”

“Aku nunggu mbak pulang”

Kau mengangguk-angguk sendiri sambil melirik bintang lagi. Masih banyak dan indah. Beberapa saat hening sampai Najma mulai membuka pembicaraan. Tadinya ia hanya bertanya sedikit tentang pekerjaanmu yang menjadi sangat sering kau tinggal. Ia kemudian bercerita tentang dirinya sendiri dan pertemuannya dengan Bintang. Lalu bercerita tentang pekerjaan Bintang yang menjadi waitress di sebuah restoran.

“Mbak terpaksa kerja shift malam di restoran pertigaan karena donatur di sini semakin berkurang. Dulu, sewaktu anak-anak masih ada sekitar dua puluh-an, mbak masih ada yang ngebantu. Sekarang enggak ada.”

“Kamu?”

“Aku anaknya Om, anak sulung dari kelima anaknya” jawab Najma sambil tersenyum. Manja.

“Bukan. Kamu adiknya…” ralatmu.

“Iya, aku juga adiknya…” jawabnya kemudian. Kalian tertawa, tapi kemudian kembali serius. “Mbak adalah malaikatku” ucapnya sambil menatapmu lalu tersenyum. Kau juga tersenyum. “Aku akan manut sama mbak, apapun itu biar mbak bahagia” tambahnya. Kau menangkap kemantapan di matanya yang bulat.

Praktis rutinitas keseharianmu hampir-hampir tak pernah berubah. Pagi di sekolah, siang di rumah Bintang menemui Bintang, malam menemui Najma hingga larut malam dan pulang untuk tidur. Kedekatan tercipta begitu erat sehingga menimbulkan ketergantungan di antara kalian. Bila kau tak datang, maka urung bagi Bintang untuk bisa momong anaknya dengan tenang, lagi-lagi menengok ke arahku, barangkali Forsa-nya sudah nangkring di sini. Tak ayal kadang Najma menggodanya karena tak bisa menyembunyikan perasaan yang sangat mengganggu itu. Tidak seperti dirinya. Sehari, dua hari, tiga hari, kau absen. Hari keempat kau datang. Perempuan di pintu itu bukan Najma, tapi Bintang. Serta merta ia memelukmu dengan sedikit berkaca-kaca. Lalu sederetan pertanyaan muncul dari bibirnya.

“Aku ada pelatihan di luar kota, Sayang…” jawabmu lembut lalu mengajaknya masuk ke ruang tengah. Najma beranjak keluar sambil menuntunGundul.

Hari-hari berputar kembali seperti biasa. Kalian menikmati rindu-rindu yang tak sedetikpun lewat. Seperti kau yang merindukan Bintang sehingga kau merindukan malam.

Kau datang lagi. Awalnya kau anggap ini adalah pelipur karena ketiadaan Bintang, namun kini kau merasa perlu. Seperti biasa, Najma sudah siap dengan sulamannya di teras. Bukan lagi untuk menunggu kepulangan mbaknya, tapi kedatanganmu. Sepaket cerita untuk bahan ngobrol denganmu malam ini telah dia siapkan. Kalian tertawa sambil menatap bintang. Sulaman di tangan Najma sudah lama terhenti, berganti lenggokan untuk mengekspresikan ceritanya. Sesekali bersentuhan dengan tanganmu. Bahkan lebih lama. Najma mulai merasa khawatir jika mbaknya pulang lebih awal. Entah kau.

Firasat Najma memang benar karena aku merasa ada yang berdiri di bawahku. Tentu saja selain Forsa tua milikmu. Ia diam. Sudah beberapa menit ia berdiri di sini, tak beranjak. Matanya menatap dua orang yang sedang asyik bercengkrama di teras. Kulirik ia mengelus dada lalu mata. Pemecatan yang baru saja ia dapat dari restoran ternyata belum cukup membuatnya bersedih malam ini. Ia sesenggukan sendiri sambil duduk menekuk lutut. Setengah jam kemudian, kau mendekatiku. Ia berputar saat kau menuju mobilmu, menunggu kau pergi dengan lambaian tangan Najma. Setelah memantaskan diri, ia berjalan menuju teras. Mengucap salam.

“Baru pulang Mbak…”

“Iya” jawabnya singkat langsung memasuki kamar. Najma menekuk alis sambil memasuki kamar. Keduanya sama-sama tak bisa tidur malam ini, kadangkala buliran bening jatuh di bantal Bintang. Kadangkala di bantal Najma.

“Aku mencintaimu…” ucapmu siang itu. Bintang tersenyum kecut.

“Tapi aku tidak” jawabnya. Kau terkejut, begitu juga Najma yang menguping di balik pintu depan. Anak-anak ia biarkan main sendiri di halaman, di bawahku.

“Tap… tapi kenapa?”

“Kenapa kau mencintaiku?”

“Karena kamu adalah bintangku”

“Bintang enggak cuma satu di langit, carilah bintang yang lain, yang bersinar di malam hari” ucapnya lalu beranjak memasuki kamar. Sejak itu kau tak lagi melihat Bintang. Juga Najma yang hanya meninggalkan secarik kertas dengan sulaman yang belum selesai di teras, malamnya.

“Maaf Om, aku juga bukan bintangmu. Carilah bintang yang tak hanya menerangimu malam hari, tapi juga siang hari.

Salam dari Mbak Bintang, ia sekarang mengabdi di panti tempat anak-anaknya berada karena tak lagi punya biaya di sini. Sedangkan aku mengabdi pada malaikatku. Menebus dosa.

Najma”

***

Kau menyeka air matamu lagi setelah puas berbisik padaku. Kau kehilangan bintang siam. Siang dan malam. Padahal ia tetap banyak dan indah. Selalu begitu. Entahlah kau tahu atau tidak kalau bintang dan najma itu sama saja. Sama arti maksudnya.

Ilustrasi: Scott Webb

Peringkat: 1 dari 5.
Yuk nilai postingan ini
[Total: 1 Average: 5]